Sekilas saya cerita mengenai sejarah/filosofi asal-muasal “SINAMOT” Pada dasar pengertiannya Boli=Tuhor jadi kalau dibahasa indonesiakan, ya…HARGA. Tapi beda dgn artian harga sesuatu benda, yg harganya ditentukan, sehingga semua orang berhak atau dapat memilikinya selama dia dapat memenuhi harga tersebut.
Konon ceritanya dulu pola hidup pada umumnya orang Batak yg tinggal di kampung (bona pasogit), karena rutinitas, pekerjaan sehari-hari dan yg menjadi penghasilan utk kesinambungan hidup adalah BERTANI (Marhauma).
Malangnya (maaf bukan merendahkan) hal tsb yg paling dominan digeluti
Ibu-ibu/Perempuan sehingga persepsi orang Batak khususnya (dijaman itu), ya..bahwa perempuan urusan dalam Rumah Tangga (ya..lihat aja KTP Ibu-ibu yg tidak punya pekerjaan/professi, kalau dulu IKUT SUAMI sekarang masih mendingan IBU RUMAH TANGGA).
Ibu-ibu/Perempuan sehingga persepsi orang Batak khususnya (dijaman itu), ya..bahwa perempuan urusan dalam Rumah Tangga (ya..lihat aja KTP Ibu-ibu yg tidak punya pekerjaan/professi, kalau dulu IKUT SUAMI sekarang masih mendingan IBU RUMAH TANGGA).
Ini secara otomatis menjadi budayakarena kultur. Nah..konon ceritanya katakanlah si-A (cewek) dapat jodoh/kawin dgn si-B (cowok), artinya si-A ikut si-B. Karena si-A sudah ikut si-B, sehingga jumlah pekerja di sawah berkurang karena kepergian si-A.
Disini pihak si-B wajib/harus memberikan sebagai pengganti ke pihak si-A terserah Cewek/Cowok.Istilahnya jolma ganti ni jolma(manusia/orang).
Mungkin karena proses tersebut kurang mengenai sasaran, dimana penggantinya tidak sesuai dgn kapasitas yg diganti, tak lama kemudian dirobah menjadi “GAJAH” (dianggap sebagai pengganti).
Lama kelamaan makin langka diganti lagi dgn istilah “GAJAH TOBA”(Horbo). Ini mungkin berlangsung agaklama, kalau ngak salah dijaman Soekarno, sehingga disaat itu banyak pemuda Batak khususnya menjadi PANGLATU (Panglima Lajang Tua).
Di tahun 70-an jamannya berobah ke rezim Soeharto, dan
banyak perubahan yang bisa diterima masyarakat luas waktu itu. Tidak ketinggalan proses budaya yg menyangkut adat-istiadat kita pun ikut arus dan adaptasi, sehingga disaat itulah terjadi pengurangan Panglatu, karena ada satu kelonggaran “NA MANGULA PE NA MASUK ADAT DO”.
banyak perubahan yang bisa diterima masyarakat luas waktu itu. Tidak ketinggalan proses budaya yg menyangkut adat-istiadat kita pun ikut arus dan adaptasi, sehingga disaat itulah terjadi pengurangan Panglatu, karena ada satu kelonggaran “NA MANGULA PE NA MASUK ADAT DO”.
Ada lagunya yg dinyanyikan duet Joel Simorangkir & Charles Simbolon, judulnya LUANHON DAMANG (Nikahi Sajalah). Jompok hata dohonon (singkatnya), kalau pernah ikut Marhata Sinamot, pihak Paranak biasanya meminta ke pihak Parboru, supaya jangan terlalu memberatkan seberapa Sinamot yang akan
disampaikan.
disampaikan.
Jadi sebelum bentuk Sinamot menjadi bilangan/angka dalam bentuk rupiah, pihak Parboru menyampaikan Antong molo na naeng pasahat somba ni uhum, somba ni adat, na gabe si palas roha nami na ma hamu songon Sinamot ni boru nami, goari hamu sian ni ; sadia godang ma horbo, piga lombu, piga hoda, piga rantiti mas jala sadia godang ringgit sitio soara.
(Dimana permbicaraan sudah mengarah ke Sinamot, jadi pihak Parboru bertanya/menyampaikan kepihak Paranak ; berapa banyak Kerbau, Lembu, Kuda,Mas dan uang, dulu uang berbentuk logam dan ada yg satuannya ringgit yg bunyinya agak nyaring…?).
Sesuai dengan situasi dan kondisi pihak paranak menjawab, dimana bentuk-bentuk permintaan tadi sudah agak sulit mengumpulkan sehingga tidak terpenuhi, pihak Paranak meminta supaya dibulatkan dalam bentuk ringgit sitio soara (rupiah). Dengan proses yg tadi (mohon kalau kurang pas) itulah yang kita alami
sekarang yg disebut ”SINAMOT”.
sekarang yg disebut ”SINAMOT”.